top of page
Search
  • pikitaranbersama

Pembelajaran Jarak Jauh

Sudah tidak asing lagi di telinga kita, kata pembelajaran jarak jauh. Sejak maraknya persebaran Covid-19 di indonesia, menteri pendidikan dan budaya indonesia, Nadiem Makarim mencanangkan kebijakan penerapan pembelajaran jarak jauh di area-area indonesia yang mulai terpapar ancaman Covid-19. Hal ini tentunya berdampak besar pada kehidupan siswa/i dan seluruh tenaga pendidik.


Sebagai siswi sekolah menengah atas di area Serpong dan Jakarta, kami mengalami proses pembelajaran jarak jauh yang di implementasikan di sekolah kami masing-masing. Tentunya, sistem pembelajaran kami berbeda. Namun, perasaan-perasaan yang timbul dalam diri kami selama proses pembelajaran jarak jauh tidak jauh berbeda. Mulai dari kebingungan, jenuh, resah, bosan, kesepian, hingga malas, semuanya pernah bahkan lazim timbul dalam diri kami seiring dengan berjalannya pembelajaran jarak jauh.


Fase berharap/menolak

Motivasi di fase ini, didasari harapan atau penolakan terhadap realita?

Satu bulan pertama penerapan pembelajaran jarak jauh merupakan fase dimana kami masih berharap. Mungkin bisa dibilang ‘berharap’, namun juga bisa dibilang ‘menolak’. Di fase ini, kami masih berharap adanya kemungkinan pembelajaran jarak jauh ini menjadi hal yang akan lewat dalam waktu dekat, kami masih menolak kemungkinan pembelajaran jarak jauh ini diterapkan dalam kurun waktu yang lama. Oleh karena itu, motivasi kami untuk mempertahankan prestasi masih tinggi. Menyimak penjelasan guru dengan seksama, mengerjakan tugas dalam format baru dengan antusias, serta mempergunakan kesempatan ini untuk memperluas wawasan melalui internet dan buku yang dapat diakses selama jam pelajaran.


Fase jenuh

Mengapa harus sekarang, mengapa harus kami?

Setelah sadar bahwa kemungkinan besar pembelajaran jarak jauh dan masa karantina akan diperpanjang, harapan tersebut mulai menurun dan perasaan-perasaan baru timbul. Perasaan resah, bosan, takut, malas kerap kami rasakan, dan tanpa diketahui perasaaan tersebut menjadi penghambat bagi kami dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Timbul jutaan pertanyaan tanpa mengetahui kemana kami harus bertanya. Kapan pandemi ini berakhir? Kenapa aku harus mengalami hal ini? Apa yang harus aku lakukan? Kenapa aku harus merasakan hal ini? Rasanya menjadi lebih berat untuk tetap berpikir positif dan tetap optimis dalam menghadapi realita.


Fase introspeksi

Memilih perasaan itu tidak mungkin, namun memilih persepsi itu sangat mungkin.

Suatu saat kami mulai bertanya kepada diri kami masing-masing. Kenapa aku harus merasa resah? Kenapa aku harus merasa malas? Kenapa aku harus merasa kesepian? Apakah perasaan-perasaan itu menghambat diri ku?. Namun saat kami berpikir lebih dalam mengenai hal ini muncul pertanyaan baru : Siapa yang mengharuskan diriku untuk merasakan perasaan-perasaan negatif itu? Kami sadar bahwa kerap kali yang terjadi adalah perasaan-perasaan tersebut merupakan produk dari persepsi kami akan suatu masalah. Lebih mudah bagi kami untuk melihat sisi negatif dari suatu kondisi. Dalam kasus ini, awalnya kami memilih untuk melihat dan lebih fokus terhadap sisi negatif. Kami menaruh titik berat pada keresahan, kemalasan, kesepian yang juga ditimbulkan oleh reaksi kami saat dihadapi dengan realita. Keresahan, kemalasan, kesepian seakan ditanamkan dan menjadi dasar setiap perasaan yang timbul.


Fase kickback

Light without dark would not be bright and dark without light would not be bleak.

Kesadaran dari fase introspeksi mendorong kami untuk mengubah cara pandang terhadap kondisi ini. Apa yang kita lakukan agar dapat melihat pandangan baru dari kondisi ini tentunya berbeda-beda. Dengan cara membuat goal atau tujuan, tidak menunda-nunda pekerjaan, mencari hal-hal baru untuk dilakukan, mendengarkan musik yang semangat, bergaul dengan teman-teman yang rajin, menghabiskan waktu dengan keluarga dan masih banyak lagi. Semua terasa lebih enteng dan lebih mudah dijalani ketika kami mencapai fase ini. Pemikiran-pemikiran serta perasaan-perasaan yang membuat kami jenuh tak lagi menghambat motivasi dan kinerja kami karena kami sudah sadar dan mengenali pikiran dan perasaan tersebut.


Mengapa kami bercerita tentang hal ini? Kami ingin membagikan pengalaman pribadi kami dalam menghadapi situasi yang seringkali dipandang negatif. Perjalanan kami untuk mencapai poin dimana kami dapat berdamai dengan situasi merupakan perjalanan yang berharga. Perjalanan ini mengajarkan kami banyak hal, namun yang terpenting adalah : bagaimana semua hal memiliki sisi positif dan negatif, begitu pula dengan dampak yang dibawanya. Kami sadar bahwa setiap langkah dan setiap hal yang kami alami memiliki maknanya masing-masing. Kerap kali kami harus mengalami hal negatif terlebih dahulu untuk menyadari hal yang positif. Sesuatu yang gelap tidak akan ada tanpa sesuatu yang terang, begitu pula sebaliknya. Kontras itu dibutuhkan karena tanpa melihat kedua sisi dengan jelas, kondisi seakan menjadi abu-abu dan penuh ketidakpastian. Walaupun hidup tidak terlepas dari masalah dan kesulitan, menjadi jauh lebih mudah bagi kami untuk menyadari bahwa betapa banyaknya hal yang dapat diapresiasi dalam kehidupan. Kami berharap teman-teman juga dapat menemukan cara masing-masing dalam melihat kedua sisi ini, baik yang positif maupun negatif :)


Ini pengalaman kami, bagaimana dengan kamu?

Tulis pengalaman mu pada kolom komen di bawah!


16 views1 comment

Recent Posts

See All
Post: Blog2 Post
bottom of page